JellyPages.com

Thursday 31 December 2009

Masih terus memupuk cinta,

Cinta sama siapa, Nida? ........ saya jatuh cinta sama kata-kata sejak duduk dibangku sekolah dasar.

Bisa merasa mati kalau sehari saja tidak menulis, kata bang Hasan (Hasan Aspahani) dalam blognya yang bernuansa putih abu itu. Bukan mati jiwanya tapi merasa ada sesuatu yang dicerabut paksa karena tidak ada wadah seperti bejana untuk menuang kata-kata.

bang Hasan bilang dalam blognya, kata para penulis besar, untuk menjadi penulis, kita harus menjadi pembaca yang lahap. Bacalah buku apa saja asal bermanfaat dan membawa guna dalam tulisanmu nanti. Dengan membaca tulisanmu akan bernyawa, seperti kita, manusia. (ini kata saya)

Memupuk ini semua dengan cinta juga komitmen, lagi-lagi kata bang Hasan, itulah kuncinya.

Bukan Moksa Sempurna

Hei! Dia tak pantas kau jenguk. Dia akan tidur beralas selimut tipis bergaris diruangan pengap penuh kecoa (entah mengapa banyak wanita yang berteriak histeris melihat makhluk sekecil ini..)

Tahukan Kau mengapa tak lekas borok-borok itu mengering dan kembali seperti semula? Mari kubisikkan rahasia yang sudah bocor ini. Dia itu manusia penghisap!

Ya. Manusia serupa vampir namun bukan darah yang diincarnya. Dia rakus melahap hingga tandas kepingan logam juga lembaran kertas yang bernama uang. Tak cukup itu, Dia membungkus tanah bernama dengan paksa diatas derita makhluk bernama manusia. Perlahan namun pasti, perutnya akan membuncit dan membuatnya bersendawa keras-keras. Sesudah itu Dia akan tertidur hingga layuh kedua kakinya.

Tak cukup pula kedua kaki itu layuh. Kedua tangannya masih kuat merangkum harta bernama benda, aih menyeringai sambil bersendawa karena kekenyangan pula!

Sungguh, babak manusia yang ingin aku kemas rapat dan membuangnya dari ketinggian. Hingga moksa dan tiada lagi samsara yang menyiksa.

*Awal Tahun 2010

Obituari

aku sengaja mewafatkanmu dalam hitungan bulan yang masih belia
bukan karena usia
namun karena luka,
atas serapah yang menguar begitu saja
karena kita terlalu lampau memijah amarah

Ada hari saat kita menziarahi jalan yang padam nyalanya
bukan remang, namun kelam yang sungguh pekat
dari terang yang tertebas pada masa silam*

aku tak mengenalimu,
padahal aku sering rindu mengeja senja yang paling senja
meski acapkali mengundang bahaya
lalu seiring waktu
kau sengaja memangkas ujung layar
Pun menebasnya hingga tak sisa

Aku menahan cekat dikerongkongan,

mewafatkanmu sebelum senja paruh waktu

Semarang, 2009


Monday 14 December 2009

Dua Manusia

Bagaimana cara memendam kalimat yang barusan kusaksikan? Terlalu nyata dari sekedar susunan abjad biasa. Tak lebih nyata dari sebuah pisau yang menghunus telinga tembus ke uluhati. Barangkali udara panas diluar sanggup memeram amarah hingga matang untuk kemudian menghilang.

Bilur-bilur sisa panas segera reda setelah hujan turun tak lama begitu aku angkat telepon pada dering ketiga. Aku tak berharap ada suara dari seberang sana, berharap bahwa kabel telepon itu putus atau baterai handphonenya sekarat. Namun sekali ini, aku berharap dia menyapa.

Karibku memang berbeda denganku. Bertahun aku menghibur diri dengan rasa bungah yang kuperam dalam hati. Enggan berbagi. Pantang bagi wanita mengumbar cinta didepan pria. Dia karibku, akan ditaruh dimana mukaku nanti.

~ Nyatanya aku tak perlu berhadapan dengan tembok hari itu. Dan aku tak perlu lagi menenggak kopi seorang diri.

Segera berbalik. Aku keliru menabur abu. Malam itu angin sedang tak ramah, saat seperti biasa aku menabur sisa remah. Kita berkalang amarah dan mengumbar sumpah serapah. Kurasakan hawa tak biasa menyergap tengkukku, membuat sedikit mual dan sedikit berputar. membuatku dirundung kesepian.

Semarang, 2009