JellyPages.com

Sunday 21 February 2010

Tiada Hingga

Aku mengucap terimakasih tiada hingga kepada :

1.Bu Titik Wigati (Guru kelas 6 SD PB 05 Semarang)
2.Bu MC.Sri Susilowati dan Bu FM (Guru Bahasa Indonesia kelas 2E dan 3B SMPN 21 Semarang)
3.Bu Sri Wahyuni (Guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas 1.5 SMAN 4 Semarang)
4.Bu Kristi dan Bu Esti (Guru Bahasa Indonesia kelas 2.3 dan 3 Sosial 1 SMAN 4 Semarang)

Terimakasih sudah mengenalkanku untuk berbicara melalui bahasa tulisan. Membawaku pada keindahan bahasa majas dan metafora. Terimakasih sudah mendorongku untuk terus menulis saat ini dan merasakan keindahannya di kemudian hari.

-- Salam Cinta --

Menjelang Akhir

: Sahabat pinjam buku

Bawakan aku buku dengan potret sekian pantai
yang kau bilang mengagumkan itu

/Ophelia/

kau bilang ingin menjamah butir kasar pantai selatan
membiarkan kaki telanjangmu disapa ombak
mengakrabi telinga dengan desau angin laut

/Ophelia/

Tunjukkan aku satu potret dengan sudut yang
paling mengagumkan
Tebingnya curam, pun landai
Pasir mengkilat, walau kertas buku sedikit
mengaburkan keindahannya
Tapi ceritamu menyampaikan aku hingga kesana

/Ophelia/

Dari manakah air delta itu mengalir
Semenjak hulu hingga hilir
Bermuara membentuk ceruk yang tergambar begitu detil
..
O, sungguh aku ingin menjamah laut yang kau ceritakan itu

Semarang, 2010

Perjalanan Hampa

: Farid Anshari

dari jalan setapak berbatu yang melintasi dua desa
bersisian hutan meranggas di tanah tandus
begitulah cara mereka bertahan
dari paksaan hari tanpa hujan, pilihan tanpa alasan
tumbuh tegap, tinggi, menjulang tanpa batas

membiarkan musim berganti
tanpa bertanya mengapa?
Lantas apa yang menjadi tanya hanya
perlu tunduk pada doa
“Jangan berontak pada apa yang sudah digariskan..”, katamu

malam kelabu mengelilingi kotamu
pun, kabut yang bersemayam pada bola mata itu
mengingatkanku akan harihari yang takkan kembali
menziarahi hati yang tak lagi menjelma peta
: kita tak lagi punya arah

Semarang, 2010

Sahabat Pasukan Tujuh

: Fida Nila Anin Arin Asty Lili

sering aku takut tak lagi muda
beranjak dewasa dan kehilangan sisasisa ceria
yang kita buat bersama
saat melingkar di selasar mushala
sekedar berbincang, berbagi apa saja untuk
menjadi diri sendiri
tanpa perlu membuat topeng pada wajah kita
menjadi tua itu niscaya
bahwa kita sedang berjalan menujunya
membangun rasa percaya walau harus berjalan
dengan jalan yang tak lagi sama
aku harap kita takkan alpa
pada harihari yang pernah diberi warna
seperti pelangi juga percikan mendung kelabu
membangun rasa percaya
menyusun cinta apa adanya
: menjadi diri kita sendiri

Semarang, 2010

Madiun, Hari Itu

Menuju kotamu. Paruh kedua waktu dimana kita terburuburu
Bergegas dan menaruh harap pada rodaroda bus yang lapuk
Sebelum petang kami datang
Jalan ini bukan asing bagi kami yang terbiasa
menghabiskan hari pada belantara hutan jati
Sebelum petang merembang diujung barat
Sebelum janji diingkari kesekian kali

Semarang, 2010

Monday 15 February 2010

Hikayat Cinta Satire

Laiknya kisah yang tak berakhir dengan baik,
Kisah wanita yang sengsara pun nestapa diputus cinta
Rupanya semua itu tak berkembang sempurna,
karena koyak sedikit pada tepiannya

Tak lagi nyalang, wanita hanya bisa terdiam
menerima dan menatap jalanjalan yang sepi dihadapan
menatap jerih tapaktapak cinta yang dahulu dia tebar dengan apik
kini, bahkan tak bersisa

Wanita yang melajurkan hati terlampau dalam
dan wanita jatuh pada cinta yang satir,

Semarang, 2010

Monday 8 February 2010

Harihariku Menjadi Lintas Bayanganmu

Bermula dari secarik kertas kumal yang aku pungut di tepi gardu listrik,

Mungkin kau tak sadar aku menguntitmu sejak bel sekolah dibunyikan, pertanda kebosananku akan segera berakhir. Sekaligus penanda bahwa aku harus bergegas ke kelasmu dan menunggumu keluar.

Segalanya tak lagi sama. Mimpiku yang dulu kukemas rapi dan sudah kubuang di jalanan, terpaksa kupungut ulang, meski mipi itu compang-camping. Lapuk diterjang waktu. Dan aku berusaha keras mematikan alirannya sebelum sampai pada muara.

Secarik kertas yang kau buang di tepi gardu listrik. Aku memungutnya karena melihatmu membuangnya begitu saja. Lenganmu sedikit menyeka bulir halus di sudut mata. Kau menangis?

Aku memungutnya seperti pertama memungut Jack, kucing kampung pemalas, yang kutemukan sekarat tertabrak motor. Halus dan hati-hati. Mungkin aku sedikit gila karena setiap hari harus menjadi bayanganmu. Mengendap. Berjingkat dan berpura-pura tenang jika kau tergesa membalik badan.

Sejauh ini aku masih setia melihatmu masuk pekarangan rumah dengan mengucap salam. Walau setelah itu aku harus berlari menuju rumahku yang berbeda arah pulang dengan rumahmu. Tiga tahun aku seperti ini. Dan mungkin pekan depan aku harus berhenti bertindak seperti mata-mata.

Semarang, 2010