JellyPages.com

Saturday 20 November 2010

Catatan Pendek : 2

Seperti galeri lukisan yang kita singgahi. Kusam. Sunyi. Mistis. Aku kerap membandingkan dinding yang aku susuri retakannya dengan apa yang pernah kau sampirkan di gendang telingaku, perlahan. Mungkin terdengar sarkastis. Apa yang ku berikan bukanlah suatu perumpamaan religi yang selalu dikaitkan dengan berapa hasil yang kau dapatkan. Bahwa itu terdengar terlalu naif.

Sungguh, aku berharap gelengan. Tapi harapku tak berbalas. Aku berbicara dengan bayangan. Dimana semuanya serempak menjelma dinding. Persis seperti dinding galeri tua yang kita kunjungi.

Aku kembali kesana, dan tak menemukan siapasiapa..

Jepara, November 2010

Catatan Pendek : 1

Terlalu sulit melipat rindu. Karena kau tak berikan jeda diselanya. Apakah rindu harus selalu diwujudkan dalam narasi hingga berparagraf panjangnya?

Sunday 14 November 2010

Pria Sarkastis : 2

Terkadang, merasa ditinggalkan. Tapi bukankah memang harus seperi itu?
Kepergiannya begitu diam. Terasa seperti ada yang berjingkat pelan.
Kemudian perlahan menghilang diujung jalan
Juga teriakannya, terkubur oleh deruderu kendaraan malam
Bukan,
itu bukan teriakan. Terasa seperti rindu yang menggeletar
kemudian merampat hingga mencapai batasnya

Jepara, November 2010

Saturday 13 November 2010

Pria Sarkastis : 1

Hari menjelang pagi, namun daftar yang ada ditangan ini tidak juga bertambah atau berkurang,

Tidak jelas kepada siapa seharusnya rindu ini kuserahkan?

Dan hingga saat ini aku masih juga belum berani bicara padanya,

Semarang, Tengah malam November 2010.

Saturday 6 November 2010

Ada Yang Tak Kembali


Teruntuk : Suara

Bagaimanakah dentum gema?
Apakah suara masih menjadi bayangnya?
Lantas, jika aku pulang ke haribaan,
masih sempatkah aku bertatap muka dengan penuh keikhlasan?

Dari tapak yang menjamah bumi, baris-baris
itu menjelujur. Membujur hingga ke penjuru
Untuk bersimpangan pada satu titik tanpa nama
yang seringpula ambigu maknanya,

Aku sering alpa,
nampak kikuk dan serba salah
Acapkali, lidahku kelu dan nafasku tak beraturan

Sekali, hingga berkalikali

ditempat yang sama, aku tak tahu harus berkata apa.

Semarang, November 2010


26 Oktober 2010 : Permulaan

Menjelang persiapan menyambut malam,

ada yang tak biasa dengan kabut yang menyemburkan
aroma belerang. Tak biasa pada malam yang mendadak senyap. Jalanan lengang. Bahkan tak terdengar lagi bebunyian kentongan bersahutan dari gardu ronda ujung desa. Sesekali hawa gerah menyeruak. Singup, begitu kata orang Jawa bilang. Mungkin sudah saatnya kita turun. Berapa jam lagi dia akan tiba dengan segera?

Mungkinkah ini pertanda?

Lantas, bagaimana dengan bola api yang kulihat beberapa waktu sebelumnya? Juga, abu tipis yang bersemburat diatas langit dan menutupi genting lapuk warga desa? Mengapa kali ini aku tidak mendengar gemuruh apa-apa? Gemuruh halus, lebih mirip dengkuran yang biasa kudengar jika aku lari ke belakang gunung batu untuk menyendiri. Apakah yang salah?

Aku bergegas. Aku tergesa. Aku. Kami semua berlari dengan terpaksa. Dengan nafas yang melompat-lompat. Gemuruh itu kali ini bukan dengkuran biasa. Aku tak mengenalinya lagi. Pun, abu juga bola api itu. Mereka datang tanpa pertanda pun isyarat apa-apa.

Aku, dan mungkin kami semua, dalam ketergesaan. Walau kami pun tak memungkiri, desa diatas sana sudah binasa. Dengan beberapa tetangga yang enggan ikut turun, walau kami telah memaksa, merajuk, membujuk dengan tangisan. Pasrah, hanya itu kata mereka.

Kini, kami hanya bisa mengenang mereka yang (mungkin) telah tiada. Bahkan, kami melihat sekenanya, onggokan mayat yang kaku meregang nyawa. Hitam. Kelam. Mirip jelaga.

Hingga hari ini, aku belum berani singgah ke desa yang telah binasa. Konon katanya, menginjakkan kaki kesana, sanggup melepuhkan kaki hingga tak sanggup berjalan.

Aku, dan juga yang kini berada di barak. Diantara dengungan suara manusia, hanya bisa terdiam dalam lamunan. Melihat abu yang berhamburan dari kejauhan..