JellyPages.com

Saturday 6 November 2010

26 Oktober 2010 : Permulaan

Menjelang persiapan menyambut malam,

ada yang tak biasa dengan kabut yang menyemburkan
aroma belerang. Tak biasa pada malam yang mendadak senyap. Jalanan lengang. Bahkan tak terdengar lagi bebunyian kentongan bersahutan dari gardu ronda ujung desa. Sesekali hawa gerah menyeruak. Singup, begitu kata orang Jawa bilang. Mungkin sudah saatnya kita turun. Berapa jam lagi dia akan tiba dengan segera?

Mungkinkah ini pertanda?

Lantas, bagaimana dengan bola api yang kulihat beberapa waktu sebelumnya? Juga, abu tipis yang bersemburat diatas langit dan menutupi genting lapuk warga desa? Mengapa kali ini aku tidak mendengar gemuruh apa-apa? Gemuruh halus, lebih mirip dengkuran yang biasa kudengar jika aku lari ke belakang gunung batu untuk menyendiri. Apakah yang salah?

Aku bergegas. Aku tergesa. Aku. Kami semua berlari dengan terpaksa. Dengan nafas yang melompat-lompat. Gemuruh itu kali ini bukan dengkuran biasa. Aku tak mengenalinya lagi. Pun, abu juga bola api itu. Mereka datang tanpa pertanda pun isyarat apa-apa.

Aku, dan mungkin kami semua, dalam ketergesaan. Walau kami pun tak memungkiri, desa diatas sana sudah binasa. Dengan beberapa tetangga yang enggan ikut turun, walau kami telah memaksa, merajuk, membujuk dengan tangisan. Pasrah, hanya itu kata mereka.

Kini, kami hanya bisa mengenang mereka yang (mungkin) telah tiada. Bahkan, kami melihat sekenanya, onggokan mayat yang kaku meregang nyawa. Hitam. Kelam. Mirip jelaga.

Hingga hari ini, aku belum berani singgah ke desa yang telah binasa. Konon katanya, menginjakkan kaki kesana, sanggup melepuhkan kaki hingga tak sanggup berjalan.

Aku, dan juga yang kini berada di barak. Diantara dengungan suara manusia, hanya bisa terdiam dalam lamunan. Melihat abu yang berhamburan dari kejauhan..

No comments:

Post a Comment