JellyPages.com

Saturday 20 November 2010

Catatan Pendek : 2

Seperti galeri lukisan yang kita singgahi. Kusam. Sunyi. Mistis. Aku kerap membandingkan dinding yang aku susuri retakannya dengan apa yang pernah kau sampirkan di gendang telingaku, perlahan. Mungkin terdengar sarkastis. Apa yang ku berikan bukanlah suatu perumpamaan religi yang selalu dikaitkan dengan berapa hasil yang kau dapatkan. Bahwa itu terdengar terlalu naif.

Sungguh, aku berharap gelengan. Tapi harapku tak berbalas. Aku berbicara dengan bayangan. Dimana semuanya serempak menjelma dinding. Persis seperti dinding galeri tua yang kita kunjungi.

Aku kembali kesana, dan tak menemukan siapasiapa..

Jepara, November 2010

Catatan Pendek : 1

Terlalu sulit melipat rindu. Karena kau tak berikan jeda diselanya. Apakah rindu harus selalu diwujudkan dalam narasi hingga berparagraf panjangnya?

Sunday 14 November 2010

Pria Sarkastis : 2

Terkadang, merasa ditinggalkan. Tapi bukankah memang harus seperi itu?
Kepergiannya begitu diam. Terasa seperti ada yang berjingkat pelan.
Kemudian perlahan menghilang diujung jalan
Juga teriakannya, terkubur oleh deruderu kendaraan malam
Bukan,
itu bukan teriakan. Terasa seperti rindu yang menggeletar
kemudian merampat hingga mencapai batasnya

Jepara, November 2010

Saturday 13 November 2010

Pria Sarkastis : 1

Hari menjelang pagi, namun daftar yang ada ditangan ini tidak juga bertambah atau berkurang,

Tidak jelas kepada siapa seharusnya rindu ini kuserahkan?

Dan hingga saat ini aku masih juga belum berani bicara padanya,

Semarang, Tengah malam November 2010.

Saturday 6 November 2010

Ada Yang Tak Kembali


Teruntuk : Suara

Bagaimanakah dentum gema?
Apakah suara masih menjadi bayangnya?
Lantas, jika aku pulang ke haribaan,
masih sempatkah aku bertatap muka dengan penuh keikhlasan?

Dari tapak yang menjamah bumi, baris-baris
itu menjelujur. Membujur hingga ke penjuru
Untuk bersimpangan pada satu titik tanpa nama
yang seringpula ambigu maknanya,

Aku sering alpa,
nampak kikuk dan serba salah
Acapkali, lidahku kelu dan nafasku tak beraturan

Sekali, hingga berkalikali

ditempat yang sama, aku tak tahu harus berkata apa.

Semarang, November 2010


26 Oktober 2010 : Permulaan

Menjelang persiapan menyambut malam,

ada yang tak biasa dengan kabut yang menyemburkan
aroma belerang. Tak biasa pada malam yang mendadak senyap. Jalanan lengang. Bahkan tak terdengar lagi bebunyian kentongan bersahutan dari gardu ronda ujung desa. Sesekali hawa gerah menyeruak. Singup, begitu kata orang Jawa bilang. Mungkin sudah saatnya kita turun. Berapa jam lagi dia akan tiba dengan segera?

Mungkinkah ini pertanda?

Lantas, bagaimana dengan bola api yang kulihat beberapa waktu sebelumnya? Juga, abu tipis yang bersemburat diatas langit dan menutupi genting lapuk warga desa? Mengapa kali ini aku tidak mendengar gemuruh apa-apa? Gemuruh halus, lebih mirip dengkuran yang biasa kudengar jika aku lari ke belakang gunung batu untuk menyendiri. Apakah yang salah?

Aku bergegas. Aku tergesa. Aku. Kami semua berlari dengan terpaksa. Dengan nafas yang melompat-lompat. Gemuruh itu kali ini bukan dengkuran biasa. Aku tak mengenalinya lagi. Pun, abu juga bola api itu. Mereka datang tanpa pertanda pun isyarat apa-apa.

Aku, dan mungkin kami semua, dalam ketergesaan. Walau kami pun tak memungkiri, desa diatas sana sudah binasa. Dengan beberapa tetangga yang enggan ikut turun, walau kami telah memaksa, merajuk, membujuk dengan tangisan. Pasrah, hanya itu kata mereka.

Kini, kami hanya bisa mengenang mereka yang (mungkin) telah tiada. Bahkan, kami melihat sekenanya, onggokan mayat yang kaku meregang nyawa. Hitam. Kelam. Mirip jelaga.

Hingga hari ini, aku belum berani singgah ke desa yang telah binasa. Konon katanya, menginjakkan kaki kesana, sanggup melepuhkan kaki hingga tak sanggup berjalan.

Aku, dan juga yang kini berada di barak. Diantara dengungan suara manusia, hanya bisa terdiam dalam lamunan. Melihat abu yang berhamburan dari kejauhan..

Saturday 30 October 2010

Beberapa Hal Yang Ingin Kuceritakan?


Buluhbuluh rindu menggeletar
"Pulanglah"..

Hanya itu yang mampu aku sebut

Lirih dan tak ada yang peduli


Angin yang menyembunyikannya

seolah-oleh tiada
Padahal rinduku menyelinap
disela degup jantung
dan
hembusan nafas yang memburu

Bagaimana melipat rindu agar Ia tak terlalu gebu?*
Merasa kosong meski

disekitarnya berhamburan

partikel udara serupa gelembung

tak bercahaya

Lamat, tak bersuara..

Jepara, Oktober 2010

*Petikan status milik Tuan Ophelia.

Thursday 23 September 2010

Epilog Penutup Hari


Berdenting tak begitu cepat namun
cukup nyaring untuk
membuatku
menoleh dan mengedar pandang

Butuh waktu bagiku menafsir mimpi

pada lingkar yang menyatu pada tepinya

mimpi yang membuatku pandai mengira-ira
pun menakar
aroma yang sanggup membuatku gila

Dermaga
Sauh

Kedai kopi (yang hampir ditinggal pelanggan)

Denting gelas

Ceceran bubuk kopi
Hembusan angin laut


Semarang, September 2010

Monday 16 August 2010

Macam Kerinduan

Aku selalu menyebutmu seperti itu,
lirih
mesra
namun lebih sering terdengar
gelisah

Sedang aku terus larut dalam galau
menanti isyarat yang kau buat
terlalu lama,
tanda ini, bukan sekedar simbol belaka
berupa garis lurus atau
tiba-tiba menukik tajam tak beraturan

laiknya Kau,

menderu-deru

: selalu membuatku menunggu,

Semarang, Agustus 2010


Wednesday 19 May 2010

Perjalanan Derap

Ode :

mana langkah kananmu?
biar kusejajarkan dengan derapku

agar kau tak perlu menghela nafas panjang
yang membuatmu tersengal
dan tergelak manja
dalam waktu yang sama

hingga membuat tafsiran jenaka
aku ingin selalu memandang pendar
bolamata itu..
"Tak pernah redup, meski sejenak"

Bersama derapmu,
selalu saja seperti
berkelana pada rerimbunan
hutan bernama Rindu

Semarang, 19 Mei 2010

Pada Ode Dalam Temaram

hitung berapa langkah jarak yang pernah kita lewati atasnya
tak hanya sedepa atau dua depa
mungkin lebih berkilo panjangnya

tak heran jika kau alpa
pada desiran yang pernah hadir
meski selintas lalu
membubuhkan titik merah merona
, bukan jambu

Sungguh kau membuatku bersemu

Semarang, 19 Mei 2010

Wednesday 12 May 2010

Hari Panjang di bulan Mei lalu

Pada Mei 1998/

Terlalu belia untuk dapat memahami. Mengapa kota itu dipenuhi asap membumbung hingga langit. Sesak dengan kerumunan yang berlarian tak tentu arah. Diantara desingan peluru yang tak mempunyai bola mata. Sungguh, kacau sekali hari itu.

Ibu yang duduk disampingku pun tak banyak bicara, terpaku menatap layar kaca. Mungkin hatinya terasa miris, membayangkan dirinya terjebak pada kekacauan yang sama. "Sayang, Mei yang harusnya berwarna, kini terlihat kelabu," ujar Ibu lirih.

Bertahun kemudian, pada hari dan bulan yang sama tragedi itu diulang perlahan. Hingga tahun kedua belas tak banyak yang bisa dibagi. Hanya selalu berakhir pada tanya.

Setelah itu baru aku tahu, banyak yang tiada disana. Nyawanya direnggut paksa. Banyak etnis tionghoa yang mati sia-sia.

Monday 19 April 2010

Untuk Milad Kali Ini :

: Kakakku, Torro

Terimakasih selalu memanggilku ~Cinta

Bahkan, aku tak punya banyak cerita
tentang hikayatmu
Ihwal yang mula dari dongeng karuhun
menurun lewat Ambu padaku
Hikayat yang serupa abu,
samar ~ kelabu
namun demikian hidup dalam imajiku

Sejak layar terbelah dan
cerita tentangmu punah,
karam pada ombakombak
menggulung mengangkasa
pasrah pada angin yang urung usai
berhenti melontar tanya
“kapan perang akan selesai?”

Tidak!
Tidak!
Sejarah mencatat,
Kapitanku tak pernah lelah
menghunus kujang
meski tubuh berlinang darah
berseduh keringat
berleleh airmata

Melampaui berabad hari,
lirih aku berkata..

“Daratan melambai diseberang.. Buka matamu”


Semarang, 19 April 2010

Saturday 17 April 2010

Kemanakah, Cinta


Tuhan,

Tuhan. Aku sungguh tahu itu tatapan sedalam-dalamnya Cinta
Aku paham tatapan itu sejernih-jernihnya Kasih

Tidak panjang umurku,Tuhan!

Hanya perlu kucari cara,
terjemahkan hati,
mengapa Kau bawa aku
pun anak istriku
pada mereka?

Kenapa, Tuhan?

Semarang, 17 April 2010

sumber foto : bismanara.blogspot.com

Saturday 10 April 2010

Untuk Yang Bernama :



: Tomia

Tomia, palung terdalam berkelir biru
berhentilah mengirim getar rindu

Semarang, 10 April 2010

Thursday 8 April 2010

Karena Aku :

Rindu,
sesorean ini biru terhampar
layaknya sajadah digelar
dimuka
dimana kening ingin
selalu merunduk tersipu

keburu kita menua
sebelum terlambat jarak
melipat rindu yang
kita pintal ujung-ujungnya

: menikah, Rindu

Semenjak aku resmi
berkarib sendu

Semarang, 8 April 2010

Tuesday 30 March 2010

Doa 1

Ya Allah/Mudahkanlah kami/Karena dalam mimpiku semalam/Aku melihat banyak kerikil disana/..

Thursday 25 March 2010

Berdiam :

dengan likat, aku berharap menyelundup dalam gelap
terpaksa berjingkat
sebab aku tahu kamu mudah
sekali terbangun pada suara bising

kita sepakat berdiam pada malam
yang pekat tanpa terang bulan
karena tertutup awan
Ya, malam ini langit penuh pukat gelap
hingga kamu memutuskan bermimpi
lebih cepat

seperti sedang ada huruhara diatas sana
kamu terganggu dan
menyingkap selimut hingga kepala
aku bisa apa?

aku lindap
terpaksa tunduk dalam diam
meski langit bergemuruh
dan itu membuatmu ketakutan

Sore hari di Semarang, 2010

Thursday 18 March 2010

Seperti sedikit samar

Tak ada yang salah dengan sepi
: Kamu tak perlu mengejekku

Dengan begitu, kamu laiknya meraup abu ke wajahmu sendiri

Wednesday 17 March 2010

Pesan Pagi Ini


Bermula kulayangkan pandang pada pucukpucuk
yang menggantungkan bulir embun
Hijau terlalu asri pada pagi yang belum
membuka diri pada matahari

Kau kirimkan pesan singkat seluler : Aku sedang di sawah. Melihat panen
musim ini. Seandainya kau ada disini...

Semarang - Kutoarjo - Jogja 17032010

surat serupa bisikmu

suasana sudah tak semarak lagi
burung perenjak bermigrasi ke utara
menyusuri angin
mengembara kemana hati berkehendak
sedang aku?
tertinggal jauh dibelakang hanya
tersisa sedikit bayangbayang
yang bentuknya kau cecerkan

agar aku tak kehilangan jejak, katanya

dia tak pernah pergi begitu saja
pantang baginya menelikung rongga dada yang
aku sediakan lapang baginya
tapi, tak lama lagi kemarau akan singgah
aku hidup dengan siapa?

bisikmu indah,
"kau bukan denganku, Dia akan bersamamu,"

Jogja- Semarang, 17032010

Thursday 11 March 2010

Sederhana

Pekan lalu aku menghibahkan berkardus-kardus buku. Ya, buku kesayangan yang aku rawat dengan baik. Aku berjanji mengisi dahaga mereka dengan mimpi merengkuh dunia yang disajikan para penulis itu. Bak lahan tandus tanpa pernah dijamah hujan. Anak beberapa usia melonjak-lonjak, tanda girang. Rambut mereka kemerahan bergoyang ditingkahi angin kering.
Tak ada yang istimewa selain merekahkan senyum pada matahari yang terbit dipelupuk mata mereka

Sunday 21 February 2010

Tiada Hingga

Aku mengucap terimakasih tiada hingga kepada :

1.Bu Titik Wigati (Guru kelas 6 SD PB 05 Semarang)
2.Bu MC.Sri Susilowati dan Bu FM (Guru Bahasa Indonesia kelas 2E dan 3B SMPN 21 Semarang)
3.Bu Sri Wahyuni (Guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas 1.5 SMAN 4 Semarang)
4.Bu Kristi dan Bu Esti (Guru Bahasa Indonesia kelas 2.3 dan 3 Sosial 1 SMAN 4 Semarang)

Terimakasih sudah mengenalkanku untuk berbicara melalui bahasa tulisan. Membawaku pada keindahan bahasa majas dan metafora. Terimakasih sudah mendorongku untuk terus menulis saat ini dan merasakan keindahannya di kemudian hari.

-- Salam Cinta --

Menjelang Akhir

: Sahabat pinjam buku

Bawakan aku buku dengan potret sekian pantai
yang kau bilang mengagumkan itu

/Ophelia/

kau bilang ingin menjamah butir kasar pantai selatan
membiarkan kaki telanjangmu disapa ombak
mengakrabi telinga dengan desau angin laut

/Ophelia/

Tunjukkan aku satu potret dengan sudut yang
paling mengagumkan
Tebingnya curam, pun landai
Pasir mengkilat, walau kertas buku sedikit
mengaburkan keindahannya
Tapi ceritamu menyampaikan aku hingga kesana

/Ophelia/

Dari manakah air delta itu mengalir
Semenjak hulu hingga hilir
Bermuara membentuk ceruk yang tergambar begitu detil
..
O, sungguh aku ingin menjamah laut yang kau ceritakan itu

Semarang, 2010

Perjalanan Hampa

: Farid Anshari

dari jalan setapak berbatu yang melintasi dua desa
bersisian hutan meranggas di tanah tandus
begitulah cara mereka bertahan
dari paksaan hari tanpa hujan, pilihan tanpa alasan
tumbuh tegap, tinggi, menjulang tanpa batas

membiarkan musim berganti
tanpa bertanya mengapa?
Lantas apa yang menjadi tanya hanya
perlu tunduk pada doa
“Jangan berontak pada apa yang sudah digariskan..”, katamu

malam kelabu mengelilingi kotamu
pun, kabut yang bersemayam pada bola mata itu
mengingatkanku akan harihari yang takkan kembali
menziarahi hati yang tak lagi menjelma peta
: kita tak lagi punya arah

Semarang, 2010

Sahabat Pasukan Tujuh

: Fida Nila Anin Arin Asty Lili

sering aku takut tak lagi muda
beranjak dewasa dan kehilangan sisasisa ceria
yang kita buat bersama
saat melingkar di selasar mushala
sekedar berbincang, berbagi apa saja untuk
menjadi diri sendiri
tanpa perlu membuat topeng pada wajah kita
menjadi tua itu niscaya
bahwa kita sedang berjalan menujunya
membangun rasa percaya walau harus berjalan
dengan jalan yang tak lagi sama
aku harap kita takkan alpa
pada harihari yang pernah diberi warna
seperti pelangi juga percikan mendung kelabu
membangun rasa percaya
menyusun cinta apa adanya
: menjadi diri kita sendiri

Semarang, 2010

Madiun, Hari Itu

Menuju kotamu. Paruh kedua waktu dimana kita terburuburu
Bergegas dan menaruh harap pada rodaroda bus yang lapuk
Sebelum petang kami datang
Jalan ini bukan asing bagi kami yang terbiasa
menghabiskan hari pada belantara hutan jati
Sebelum petang merembang diujung barat
Sebelum janji diingkari kesekian kali

Semarang, 2010

Monday 15 February 2010

Hikayat Cinta Satire

Laiknya kisah yang tak berakhir dengan baik,
Kisah wanita yang sengsara pun nestapa diputus cinta
Rupanya semua itu tak berkembang sempurna,
karena koyak sedikit pada tepiannya

Tak lagi nyalang, wanita hanya bisa terdiam
menerima dan menatap jalanjalan yang sepi dihadapan
menatap jerih tapaktapak cinta yang dahulu dia tebar dengan apik
kini, bahkan tak bersisa

Wanita yang melajurkan hati terlampau dalam
dan wanita jatuh pada cinta yang satir,

Semarang, 2010

Monday 8 February 2010

Harihariku Menjadi Lintas Bayanganmu

Bermula dari secarik kertas kumal yang aku pungut di tepi gardu listrik,

Mungkin kau tak sadar aku menguntitmu sejak bel sekolah dibunyikan, pertanda kebosananku akan segera berakhir. Sekaligus penanda bahwa aku harus bergegas ke kelasmu dan menunggumu keluar.

Segalanya tak lagi sama. Mimpiku yang dulu kukemas rapi dan sudah kubuang di jalanan, terpaksa kupungut ulang, meski mipi itu compang-camping. Lapuk diterjang waktu. Dan aku berusaha keras mematikan alirannya sebelum sampai pada muara.

Secarik kertas yang kau buang di tepi gardu listrik. Aku memungutnya karena melihatmu membuangnya begitu saja. Lenganmu sedikit menyeka bulir halus di sudut mata. Kau menangis?

Aku memungutnya seperti pertama memungut Jack, kucing kampung pemalas, yang kutemukan sekarat tertabrak motor. Halus dan hati-hati. Mungkin aku sedikit gila karena setiap hari harus menjadi bayanganmu. Mengendap. Berjingkat dan berpura-pura tenang jika kau tergesa membalik badan.

Sejauh ini aku masih setia melihatmu masuk pekarangan rumah dengan mengucap salam. Walau setelah itu aku harus berlari menuju rumahku yang berbeda arah pulang dengan rumahmu. Tiga tahun aku seperti ini. Dan mungkin pekan depan aku harus berhenti bertindak seperti mata-mata.

Semarang, 2010

Sunday 31 January 2010

Sekian Tempat Yang Sempat Kita Singgahi



# Museum Kereta Api Ambarawa
Apa yang membawamu begitu bergairah
Bertandang pada museum tua,
Menyusur rel, dari ujung hingga ujung
“Mari kupersembahkan hadiah..,” tuturmu pelan
Lenganmu membentang lebar, memaparkan cinta
Pada pematang pun undakan sawah yang belum menguning
Melaju pada derit lemah laju kereta tua
Dari celah jendela yang mulai sekarat
Aku memahami binar matamu,

# Gang Pinggir, Kawasan Pecinan – Semarang
Mari susuri deretan itu satu demi satu,
Gerbang kukuh yang terbuka bagi kami yang sedia
Sekedar singgah atau beribadah
Namun hari tengah sepi,
Bukan murung karena mendung
Menggayut di awan Semarang
”Ini sepekan sebelum Sincia tiba, Nak”, ujar penjaga klenteng Tay Kak Sie
Datanglah pekan depan, dan kau akan temui keramaian disini

# Rumah Seni Yaitu – Semarang
Aku sedikit memahami jiwamu yang sedikit beda
Mengapa selalu penuh tawa?
Tak pernahkah ada luka menganga disana?
Pekan fotografi pun diskusi seni rupa dihelat esok hari
Duduk bersila diatas tikar sederhana
Sepi, namun berbekas gema dalam gendang telingaku
Berderet gambar mati nuansa kelabu
Beku. Membatu
: Entah mengapa aku terpaku

*RSY Jl.Kampung Jambe, Semarang sudah ditutup per Januari 2010.

Semarang, 2010

Tuesday 26 January 2010

Adegan #2 : Sebelum Datang

seperti kanvas,
aku membuat sketsa
dari halaman yang tiada
menjadi sedikit berwarna

sedikit sentuhan tentu akan membuatnya nampak berpijar..

"Segeralah pulang..."

Adegan #1 : Akhir Januari

: Rofiq Fauzi

... Stasiun kereta api Tawang nampak sedikit lengang dibagian tengahnya. Nampak angkuh dengan plafon yang tinggi menjulang. Menawarkan semilir angin beraroma air laut pada siang yang terik. Kesekian kali dalam dua tahun aku harus memasuki bangunan lawas ini dengannya. Mengantarkan serta membantunya mengemasi pakaian pun perbekalan dalam perjalanannya menuju Batavia.

Ada yang berpacu dalam ritmis teratur diantara derum geraman mesin kereta. Sesekali nyaring, namun lebih sering senyap diantara riuh rendah gumaman calon penumpang juga para kerabat yang turut berdiri dalam peron. Degup itu takkan pernah benarbenar hilang.

Aku duduk dibangku cokelat dengannya. Diantara himpitan sarat barang bawaan. Didepan jalur satu yang masih lengang karena kereta Muria belum datang untuk mengambilnya. Kesekian kali aku duduk dibangku yang sama dengan situasi emosional yang serupa. Menjemputnya hingga mengantarnya kembali. Menghuni kota yang jauh berbeda budaya.

Lamalama dudukku tak tenang. Gelisah. Sesekali menoleh kearah barat memastikan Muria akan segera merebut percakapan masa depanku atau menunda walau barang sebentar. Kadang ekor mataku menangkap derap kaki orang hilir mudik dengan tangan sarat bawaan, gesekan sandal pun ketukan sepatu berhak turut bergabung dalam gendang telingaku.

: aku menuliskan cerita ini dalam sebuah buku kelabu yang kubawa dari rumah. Pada waktu sebelum Dia beranjak, aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan khas didalam tas hitamku.

"jaga diri baikbaik...sampai saatnya nanti"




Friday 22 January 2010

Sketsa Mati Berwarna

: Teruntuk Harsja, Sang Batu Bulan.

aku takkan kalah melipat warna
dari sendu menjemukan hingga
merah merona

inilah awal mula,
senyummu tak lagi berbagi matahari
aku sangsi kau menyisakan,
karena kulihat mata gemintang itu menerawang
tak lagi indah
namun aku takkan patah
membaca petikan nada
: bergetar sedari awal kata

seperti kanvas,
aku membuat sketsa
dari halaman yang tiada
menjadi sedikit berwarna

Semarang, 2010

Mandalawangi









Senja itu,

Ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali ke dalam ribaanmu

Dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walau setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna,

Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan,

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu

Seperti kau terima dalam daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi

Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada,

Hutanmu adalah misteri segala

Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semesta

Malam itu,

Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi,

Kau datang kembali berbicara padaku

Tentang kehampaan semua

Hidup adalah soal keberanian,

Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti

Tanpa kita bisa menawar

Terimalah dan hadapilah

Dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara

Aku terima ini semua

Melampaui batas hutan-hutanmu

Melalui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu, Pangrango

Karena aku cinta pada keberanian hidup

~*Soe Hok Gie*~

[19 Juli 1966]

Monday 18 January 2010

Lelaki Yang Menunggu Waktu

: Asep Fahmi Nurdin

Mengampuni menjadikan kita mampu berhadapan dengan masa silam dan melepaskan kita dari beban yang tidak bisa dibatalkan.

Kiranya kau akan menyesal telah menjemputnya
menepi dari semua bimbang
merapat pada terang

Sejak kapan kau kelu pada gelap?
bukankah tanganmu selalu tergeragap membaca detak
mengeja waktu sedari tiada
hingga menjelma ada
pun kakimu telanjang terantuk
burai kusut yang sengaja kau buat saat suntuk

Berhentilah mengeja waktu,

Kita :
Kau dan aku
takkan pernah tahu
pada gelap yang mendustakan bahwa
kabar itu akhir duniamu,

bukankah kau bilang cinta padanya
meski pada keping yang hilang tepiannya

Januari, 2010

Thursday 14 January 2010

Perjalanan Saat Hujan

Kuhaturkan maaf jika aku melulu menuliskan hujan. Januari mau tak mau menghembuskan aroma gerimis nan ritmis serta tanah yang berbau khas jika biji-biji air menghujam.

Langitnya akan berwarna kelabu yang tersaput sedikit warna putih. Awan akan berarak lebih cepat karena angin tak sabar untuk segera sampai pada tujuan.


..Kanvas raksasa itu tak pernah lagi pungkas tersaput biru seutuhnya. Setidaknya jika Januari sudah berlalu dari hadapmu..

Kalian tahu? Aku memulai menghisap rokok sejak kapan? Sejak musim penghujan tahun lalu. Semenjak itu pula kepulan bundar atau abstrak tak pernah alpa singgah pada bibirku yang mulai menghitam. "Ini bukan bibir seorang wanita", Harsja, seorang karibku selalu bilang.

Aku pikir juga secangkir kopi hitam tanpa gula adalah kawan lekat rokok yang kuhisap setiap hari. Mungkin ini akan mempersingkat hidupku. Peduli apa pada umur yang hanya bilangan angka berdigit dua?

Gerimis. Sebatang rokok. Secangkir kopi hitam tanpa gula ::

Untuk Januari

Mari antarkan aku
menerobos gerimis yang menyusup
sedang hari tengah terik
Januari kita awali dengan siang yang kelabu, ucapmu.

Siang mewariskan gundah,
bukan babak ini yang kumau
ini bukan teater dengan sorak sorai penonton
tak ada kelambu
tak ada sinar remang penerangan
tak ada musik pengantar
(sepi)

: dan diberanda terserak bongkahan gelisah

Saturday 9 January 2010

Waktu


seperti yang selalu Dia bilang,
Dia mencintai warna itu mati-matian

Sebermula peralihan langit dari biru menyela jingga,
Dia tak juga bergeming dan terus mematung
hingga bayangannya habis diujung jalan

Kapan petang tak lagi serupa senja?
"Dan senja selalu lekat pada jingga.."

Semarang, 2010

Sunday 3 January 2010

Sedikit Ruang,

*Kau telah memikul ruangku yang pekat hari itu. Dan membiarkanku membuka mata dan merentangkan lengan lebih lebar lagi..

pada hari yang kelabu
tak ada salju, karena kita bukan berada pada belahan dunia itu
namun musim telah menggeser matahari,
membawa kita pada padu hari yang sendu

pada ambang hari yang meski sendu, kita akan selalu padu

bukan begitu..?

aku sedang timpang
lakuku pincang
maukah kau memapahku pada tiang diseberang sana?
membawakan mendung yang mengkristal
lalu memecahnya hingga kepingan