Sunday, 10 March 2013
Sunday, 30 October 2011
D.I.A : Melarung Rindu
: Laut
Mengayunkan langkah pada pasirmu
Memutar kenangan pada sumpah yang sempat terpatri
Tak rapi, kemudian hilang terseret ombak
Bahkan aku tak mengingat apa yang kuucap
: Debur Ombak
menghapusnya perlahan, tanpa memberiku kesempatan
mempersembahkan kesepian yang selalu berulang
: Angin
berkesiut kencang
memanjakan ujung kerudung
merapikan kenangan yang semula kugenggam
namun kutaburkan begitu saja menuju lautan
"Biarkan ia tumbuh kemana angin memeluknya"
: Karang
apa yang terbayang darinya
jika kenangan tak tumbuh rapi?
aku memangkasnya dari ingatan dan melarungnya ke lautan
Mengayunkan langkah pada pasirmu
Memutar kenangan pada sumpah yang sempat terpatri
Tak rapi, kemudian hilang terseret ombak
Bahkan aku tak mengingat apa yang kuucap
: Debur Ombak
menghapusnya perlahan, tanpa memberiku kesempatan
mempersembahkan kesepian yang selalu berulang
: Angin
berkesiut kencang
memanjakan ujung kerudung
merapikan kenangan yang semula kugenggam
namun kutaburkan begitu saja menuju lautan
"Biarkan ia tumbuh kemana angin memeluknya"
: Karang
apa yang terbayang darinya
jika kenangan tak tumbuh rapi?
aku memangkasnya dari ingatan dan melarungnya ke lautan
Sunday, 23 October 2011
D.I.A : Rindu
Sebab aku tak pernah berhenti mengenangmu. Karena, hidup berputar, alurnya mudah terbaca. Seperti plastik transparan yang membungkus benda gelap. Atau seperti jendela rumahmu yang menerobos langsung ke halaman. Tanpa penghalang. Tanpa perintang.
Sebab, pusaran waktu seakan berhenti saat aku mengenangmu. Meski aku tak pernah bisa membaca jejak langkahmu, yang paling sederhana sekalipun. Sejenak aku merasa gusar. Tersesat pada kenangan samar yang mulai memudar.
Aku rindu. Hanya sekali ini saja.
*PS : Teruntuk mas Topan, maaf ya aku sedikit mengcopas idenya? :p
Sebab, pusaran waktu seakan berhenti saat aku mengenangmu. Meski aku tak pernah bisa membaca jejak langkahmu, yang paling sederhana sekalipun. Sejenak aku merasa gusar. Tersesat pada kenangan samar yang mulai memudar.
Aku rindu. Hanya sekali ini saja.
*PS : Teruntuk mas Topan, maaf ya aku sedikit mengcopas idenya? :p
Sunday, 16 October 2011
Selasar Rindu
Semacam suasana setelah hujan. Tak ada yang menanti matahari muncul dengan garangnya. Kami semua berharap matahari menunda tugasnya. Atau kami berharap jika matahari enggan mengingkari janjinya, setidaknya dia akan muncul di pelukan gundukan awan. Tak terlalu terang. Karena kami menyukai hujan. Menyukai aroma tanah yang sembab. Lembab. Pun kami mencintai setiap tetesan yang tersisa pada setiap helaian daun. Diam-diam menikmatinya melalui jendela dan sebuah sesapan teh mint hangat.
Hingga,
Aku hampir lelah merindu. Merindu dengan leluasa seperti dahulu aku belum mengenalmu. Melalui tatapan yang tak penuh. Membuatku selalu tak ingin berhenti menyusuri selasar rindu.
Degup, debar dengan segala yang membuatku selalu ingin kembali pada mula.
Hingga,
Aku hampir lelah merindu. Merindu dengan leluasa seperti dahulu aku belum mengenalmu. Melalui tatapan yang tak penuh. Membuatku selalu tak ingin berhenti menyusuri selasar rindu.
Degup, debar dengan segala yang membuatku selalu ingin kembali pada mula.
Saturday, 16 April 2011
Bagaimana Rasanya Sendiri
#Jalanan itu masih sama. Sama lengangnya seperti sebelum kepergian dan kepulanganmu..
Rasanya seperti berdiri di persimpangan. Dengan jalan-jalan yang ujungnya fatamorgana. Embun tapi terang tanpa kabut. Ini bukan pagi. Dan, kau menyapaku melalui balik jendela, menerobos lantang celah yang lalai. Kau menyuruhku bergegas, bergegas kemana? Bila nyatanya, aku masih bimbang, kemana langkah kaki harus kuayunkan?
Terlalu lengang. Namun tawamu yang berderai sudah pupus. Bahkan tak tersisa gema yang biasa menempel mesra pada dinding. Bisu. Ini bukan kebisuan, kunamai ini kesepian.
Semarang, 16 April 2011
Teruntuk kawanku yang menyukai warna : Ungu
Sunday, 10 April 2011
Sore Itu..
Meski hujan kian deras, tetesannya tak lantas membuatku bergegas,
mengemas luka yang menderas..
Seharusnya cerita terbaik berakhir dengan tawa,
bukan dengan duka
Sungguh, dukamu begitu kelabu
hingga aku tak mampu beringsut dari dudukku
Hujan menyamarkan tangis, bukan tawa
dengan kilat yang tak ramah
Bukan, aku tidak membenci kilat
tapi karenanya aku tak dapat membaca
gerak bibirmu
mengemas luka yang menderas..
Seharusnya cerita terbaik berakhir dengan tawa,
bukan dengan duka
Sungguh, dukamu begitu kelabu
hingga aku tak mampu beringsut dari dudukku
Hujan menyamarkan tangis, bukan tawa
dengan kilat yang tak ramah
Bukan, aku tidak membenci kilat
tapi karenanya aku tak dapat membaca
gerak bibirmu
Subscribe to:
Posts (Atom)