Sunday 31 January 2010
Sekian Tempat Yang Sempat Kita Singgahi
# Museum Kereta Api Ambarawa
Apa yang membawamu begitu bergairah
Bertandang pada museum tua,
Menyusur rel, dari ujung hingga ujung
“Mari kupersembahkan hadiah..,” tuturmu pelan
Lenganmu membentang lebar, memaparkan cinta
Pada pematang pun undakan sawah yang belum menguning
Melaju pada derit lemah laju kereta tua
Dari celah jendela yang mulai sekarat
Aku memahami binar matamu,
# Gang Pinggir, Kawasan Pecinan – Semarang
Mari susuri deretan itu satu demi satu,
Gerbang kukuh yang terbuka bagi kami yang sedia
Sekedar singgah atau beribadah
Namun hari tengah sepi,
Bukan murung karena mendung
Menggayut di awan Semarang
”Ini sepekan sebelum Sincia tiba, Nak”, ujar penjaga klenteng Tay Kak Sie
Datanglah pekan depan, dan kau akan temui keramaian disini
# Rumah Seni Yaitu – Semarang
Aku sedikit memahami jiwamu yang sedikit beda
Mengapa selalu penuh tawa?
Tak pernahkah ada luka menganga disana?
Pekan fotografi pun diskusi seni rupa dihelat esok hari
Duduk bersila diatas tikar sederhana
Sepi, namun berbekas gema dalam gendang telingaku
Berderet gambar mati nuansa kelabu
Beku. Membatu
: Entah mengapa aku terpaku
*RSY Jl.Kampung Jambe, Semarang sudah ditutup per Januari 2010.
Semarang, 2010
Tuesday 26 January 2010
Adegan #2 : Sebelum Datang
aku membuat sketsa
dari halaman yang tiada
menjadi sedikit berwarna
sedikit sentuhan tentu akan membuatnya nampak berpijar..
"Segeralah pulang..."
Adegan #1 : Akhir Januari
... Stasiun kereta api Tawang nampak sedikit lengang dibagian tengahnya. Nampak angkuh dengan plafon yang tinggi menjulang. Menawarkan semilir angin beraroma air laut pada siang yang terik. Kesekian kali dalam dua tahun aku harus memasuki bangunan lawas ini dengannya. Mengantarkan serta membantunya mengemasi pakaian pun perbekalan dalam perjalanannya menuju Batavia.
Ada yang berpacu dalam ritmis teratur diantara derum geraman mesin kereta. Sesekali nyaring, namun lebih sering senyap diantara riuh rendah gumaman calon penumpang juga para kerabat yang turut berdiri dalam peron. Degup itu takkan pernah benarbenar hilang.
Aku duduk dibangku cokelat dengannya. Diantara himpitan sarat barang bawaan. Didepan jalur satu yang masih lengang karena kereta Muria belum datang untuk mengambilnya. Kesekian kali aku duduk dibangku yang sama dengan situasi emosional yang serupa. Menjemputnya hingga mengantarnya kembali. Menghuni kota yang jauh berbeda budaya.
Lamalama dudukku tak tenang. Gelisah. Sesekali menoleh kearah barat memastikan Muria akan segera merebut percakapan masa depanku atau menunda walau barang sebentar. Kadang ekor mataku menangkap derap kaki orang hilir mudik dengan tangan sarat bawaan, gesekan sandal pun ketukan sepatu berhak turut bergabung dalam gendang telingaku.
: aku menuliskan cerita ini dalam sebuah buku kelabu yang kubawa dari rumah. Pada waktu sebelum Dia beranjak, aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan khas didalam tas hitamku.
"jaga diri baikbaik...sampai saatnya nanti"
Friday 22 January 2010
Sketsa Mati Berwarna
aku takkan kalah melipat warna
dari sendu menjemukan hingga
merah merona
inilah awal mula,
senyummu tak lagi berbagi matahari
aku sangsi kau menyisakan,
karena kulihat mata gemintang itu menerawang
tak lagi indah
namun aku takkan patah
membaca petikan nada
: bergetar sedari awal kata
seperti kanvas,
aku membuat sketsa
dari halaman yang tiada
menjadi sedikit berwarna
Semarang, 2010
Mandalawangi
Senja itu,
Ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali ke dalam ribaanmu
Dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walau setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna,
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan,
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima dalam daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada,
Hutanmu adalah misteri segala
Cintaku dan cintamu adalah kebisuan semesta
Malam itu,
Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi,
Kau datang kembali berbicara padaku
Tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas hutan-hutanmu
Melalui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu, Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
~*Soe Hok Gie*~
[19 Juli 1966]
Monday 18 January 2010
Lelaki Yang Menunggu Waktu
Mengampuni menjadikan kita mampu berhadapan dengan masa silam dan melepaskan kita dari beban yang tidak bisa dibatalkan.
Kiranya kau akan menyesal telah menjemputnya
menepi dari semua bimbang
merapat pada terang
Sejak kapan kau kelu pada gelap?
bukankah tanganmu selalu tergeragap membaca detak
mengeja waktu sedari tiada
hingga menjelma ada
pun kakimu telanjang terantuk
burai kusut yang sengaja kau buat saat suntuk
Berhentilah mengeja waktu,
Kita :
Kau dan aku
takkan pernah tahu
pada gelap yang mendustakan bahwa
kabar itu akhir duniamu,
bukankah kau bilang cinta padanya
meski pada keping yang hilang tepiannya
Januari, 2010
Thursday 14 January 2010
Perjalanan Saat Hujan
Langitnya akan berwarna kelabu yang tersaput sedikit warna putih. Awan akan berarak lebih cepat karena angin tak sabar untuk segera sampai pada tujuan.
..Kanvas raksasa itu tak pernah lagi pungkas tersaput biru seutuhnya. Setidaknya jika Januari sudah berlalu dari hadapmu..
Kalian tahu? Aku memulai menghisap rokok sejak kapan? Sejak musim penghujan tahun lalu. Semenjak itu pula kepulan bundar atau abstrak tak pernah alpa singgah pada bibirku yang mulai menghitam. "Ini bukan bibir seorang wanita", Harsja, seorang karibku selalu bilang.
Aku pikir juga secangkir kopi hitam tanpa gula adalah kawan lekat rokok yang kuhisap setiap hari. Mungkin ini akan mempersingkat hidupku. Peduli apa pada umur yang hanya bilangan angka berdigit dua?
Gerimis. Sebatang rokok. Secangkir kopi hitam tanpa gula ::
Untuk Januari
menerobos gerimis yang menyusup
sedang hari tengah terik
Januari kita awali dengan siang yang kelabu, ucapmu.
Siang mewariskan gundah,
bukan babak ini yang kumau
ini bukan teater dengan sorak sorai penonton
tak ada kelambu
tak ada sinar remang penerangan
tak ada musik pengantar
(sepi)
: dan diberanda terserak bongkahan gelisah
Saturday 9 January 2010
Sunday 3 January 2010
Sedikit Ruang,
pada hari yang kelabu
tak ada salju, karena kita bukan berada pada belahan dunia itu
namun musim telah menggeser matahari,
membawa kita pada padu hari yang sendu
pada ambang hari yang meski sendu, kita akan selalu padu
bukan begitu..?
aku sedang timpang
lakuku pincang
maukah kau memapahku pada tiang diseberang sana?
membawakan mendung yang mengkristal
lalu memecahnya hingga kepingan