Bagaimana cara memendam kalimat yang barusan kusaksikan? Terlalu nyata dari sekedar susunan abjad biasa. Tak lebih nyata dari sebuah pisau yang menghunus telinga tembus ke uluhati. Barangkali udara panas diluar sanggup memeram amarah hingga matang untuk kemudian menghilang.
Bilur-bilur sisa panas segera reda setelah hujan turun tak lama begitu aku angkat telepon pada dering ketiga. Aku tak berharap ada suara dari seberang sana, berharap bahwa kabel telepon itu putus atau baterai handphonenya sekarat. Namun sekali ini, aku berharap dia menyapa.
Karibku memang berbeda denganku. Bertahun aku menghibur diri dengan rasa bungah yang kuperam dalam hati. Enggan berbagi. Pantang bagi wanita mengumbar cinta didepan pria. Dia karibku, akan ditaruh dimana mukaku nanti.
~ Nyatanya aku tak perlu berhadapan dengan tembok hari itu. Dan aku tak perlu lagi menenggak kopi seorang diri.
Segera berbalik. Aku keliru menabur abu. Malam itu angin sedang tak ramah, saat seperti biasa aku menabur sisa remah. Kita berkalang amarah dan mengumbar sumpah serapah. Kurasakan hawa tak biasa menyergap tengkukku, membuat sedikit mual dan sedikit berputar. membuatku dirundung kesepian.
Semarang, 2009
No comments:
Post a Comment