: Rofiq Fauzi
... Stasiun kereta api Tawang nampak sedikit lengang dibagian tengahnya. Nampak angkuh dengan plafon yang tinggi menjulang. Menawarkan semilir angin beraroma air laut pada siang yang terik. Kesekian kali dalam dua tahun aku harus memasuki bangunan lawas ini dengannya. Mengantarkan serta membantunya mengemasi pakaian pun perbekalan dalam perjalanannya menuju Batavia.
Ada yang berpacu dalam ritmis teratur diantara derum geraman mesin kereta. Sesekali nyaring, namun lebih sering senyap diantara riuh rendah gumaman calon penumpang juga para kerabat yang turut berdiri dalam peron. Degup itu takkan pernah benarbenar hilang.
Aku duduk dibangku cokelat dengannya. Diantara himpitan sarat barang bawaan. Didepan jalur satu yang masih lengang karena kereta Muria belum datang untuk mengambilnya. Kesekian kali aku duduk dibangku yang sama dengan situasi emosional yang serupa. Menjemputnya hingga mengantarnya kembali. Menghuni kota yang jauh berbeda budaya.
Lamalama dudukku tak tenang. Gelisah. Sesekali menoleh kearah barat memastikan Muria akan segera merebut percakapan masa depanku atau menunda walau barang sebentar. Kadang ekor mataku menangkap derap kaki orang hilir mudik dengan tangan sarat bawaan, gesekan sandal pun ketukan sepatu berhak turut bergabung dalam gendang telingaku.
: aku menuliskan cerita ini dalam sebuah buku kelabu yang kubawa dari rumah. Pada waktu sebelum Dia beranjak, aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan khas didalam tas hitamku.
"jaga diri baikbaik...sampai saatnya nanti"
... Stasiun kereta api Tawang nampak sedikit lengang dibagian tengahnya. Nampak angkuh dengan plafon yang tinggi menjulang. Menawarkan semilir angin beraroma air laut pada siang yang terik. Kesekian kali dalam dua tahun aku harus memasuki bangunan lawas ini dengannya. Mengantarkan serta membantunya mengemasi pakaian pun perbekalan dalam perjalanannya menuju Batavia.
Ada yang berpacu dalam ritmis teratur diantara derum geraman mesin kereta. Sesekali nyaring, namun lebih sering senyap diantara riuh rendah gumaman calon penumpang juga para kerabat yang turut berdiri dalam peron. Degup itu takkan pernah benarbenar hilang.
Aku duduk dibangku cokelat dengannya. Diantara himpitan sarat barang bawaan. Didepan jalur satu yang masih lengang karena kereta Muria belum datang untuk mengambilnya. Kesekian kali aku duduk dibangku yang sama dengan situasi emosional yang serupa. Menjemputnya hingga mengantarnya kembali. Menghuni kota yang jauh berbeda budaya.
Lamalama dudukku tak tenang. Gelisah. Sesekali menoleh kearah barat memastikan Muria akan segera merebut percakapan masa depanku atau menunda walau barang sebentar. Kadang ekor mataku menangkap derap kaki orang hilir mudik dengan tangan sarat bawaan, gesekan sandal pun ketukan sepatu berhak turut bergabung dalam gendang telingaku.
: aku menuliskan cerita ini dalam sebuah buku kelabu yang kubawa dari rumah. Pada waktu sebelum Dia beranjak, aku menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan khas didalam tas hitamku.
"jaga diri baikbaik...sampai saatnya nanti"
No comments:
Post a Comment